Hujatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah aktif menyerukan keadilan sosial bagi masyarakat berdasar aqidah Islam dan kemaslahatan. Menentukan posisi orang fakir dan berkebutuhan pada harta orang-orang kaya. Orang fakir memiliki hak harta orang kaya.
Kedudukan fakir dan orang yang membutuhkan harta untuk suatu keperluan lebih mulia dari orang berharta terlebih jika si fakir itu termasuk ahli ilmu, dai, ustad, santri atau mujahid. Posisi ini ditegaskan oleh Al-Ghazali dalam Al-Ihya. Sehingga tidak semestinya orang fakir dan miskin, musafir, ulama, ustad, santri atau mujahid memelas dan merendah mengemis kasih pada si kata.
Al-Ghazali berkata: “Pengusaha tugasnya bersegera melayani kebutuhan memenuhi rizki bagi si fakir. Dia mencari harta dan bersungguh-sungguh mendulang harta serta mengembangkannya untuk menyerahkan pada fakir ketika butuh. Hendaknya pengusaha berhenti mengembangkan perniagaannya ketika memadharatkan dirinya walau ia menyangka akan selamat.”
Beliau rahimahullah juga berkata: “Hartawan harus tahu kedudukan fakir lebih utama dari dirinya. Hendaknya bagi hartawan mencari barakah dari orang-orang fakir dan mengangankan kemuliaan derajat mereka. Hartawan yang masuk janah akan memasukinya setelah para fakir masuk janah sejauh perjalanan 500 tahun.”
Dalam masalah keadilan sosial Al-Ghazali menetapkan beberapa ketentuan berikut:
- Terdapat hak harta bagi fakir selain zakat. Wajib bagi hartawan mengeluarkan hartanya jika menjumpai fakir yang membutuhkan. Al-Ghazali memfatwakan, hartawan yang ogah mengeluarkan harta dari sakunya sendiri telah beradab buruk pada Allah. Pelakunya tidak punya akal karena sudah kewajibannya menyalurkan hartanya.
- Hartawan tidak secara vulgar, di depan umum atau mengumumkan memberikannya kepada fakir. Karena pemberian langsung di depan umum berpotensi menampakkan perendahan dan penghinaan bagi fakir, musafir, mujahid atau keluarga mujahid. Zaman sekarang istilahnya tidak difoto, direkam, diposting, disosmed apalagi diviralkan. Fakir tidak boleh diekspoitasi untuk mendorong kedudukan dermawan bahwa dia telah berjasa membantu umat. Apalagi penderitaan si miskin dengan wajah dan kondisinya yang melas, tidak boleh dieksploitasi karena akan merendahkannya. Lebih-lebih lagi jika dia seorang ahli ilmu, santri atau mujahid atau keluarga mujahid.
- Hendaknya bagi si fakir berterima kasih kepada hartawan yang memberikan sedekah sebagai bentuk syukurnya pada Allah, mendoakan kebaikan dan menutup aib-aibnya. Sehingga terjadi kasih sayang timbal balik. Bukan menjadi orang yang tak tahu berterima kasih. Al-Ghazali menekankan bahwa rasa terima kasihnya itu harus dalam batasan si dermawan itu hanya sebagai wasilah dan hakikat kenikmatan sesungguhnya dari Allah ta’ala. Sehingga si fakir tidak berlebihan mengagungkan si kaya sampai menghinakan dirinya di hadapannya.
- Wajib bagi fakir bersungguh-sungguh berusaha mencari nafkah yang halal dan tidak bergantung dengan orang kaya.
- Monopoli harta adalah kezhaliman. Baik harta itu dimonopoli perseorang atau kelembagaan seperti yayasan sosial, pendidikan dan lainnya.
- Melarang menafkahkan harta untuk ibadah yang hukumnya menjadi nafilah setelah wajib seperti haji dan umrah. Jika telah haji atau umrah tidak perlu kembali ke tanah suci tetapi hendaknya hartanya disalurkan pada fakir.
Gerakan keadilan sosial masif dikampanyekan Imam Al-Ghazali rahimahullah agar hartawan dan pejabat konglomerat tidak ada jalan lain kecuali menyalurkan harta titipan Allah bagi masyarakat miskin, pengungsi Pelestina korban penjajahan salibis, musafir. Demikian juga memenuhi kebutuhan mujahid yang beribath di Syam berhadapan dengan penjajah Salib yang merampas Palestina, ribath perbatasan Mesir berhadapan dengan Daulah Syiah dan pula pos-pos ronda kota serta pedesaan menghadapi infiltrasi agen pembunuh assasin.
Tujuan Al-Ghazali, ketika pemerintahan lumpuh, negara tidak hancur total dapat bertahan dengan swadaya masyarakat dan gotong royong saling menanggung. Ketika Khalifah lumpuh dengan pemerintahannya beserta pasukan reguler mandul, Al-Ghazali berusaha menyatukan seluruh elemen masyarakat menopang ekonomi. Kemanunggalan antara hartawan dengan rakyat akan menjadi pertahanan terakhir dari invansi pasukan-pasukan asing. Jika rakyat lemah ekonominya, persatuan akan sangat mudah dipatahkan negara di ambang keruntuhan.
Salah satu indikasi kesuksesan seruan keadilan sosial dan ekonomi Al-Ghazali ini atas izin Allah, ditandai dengan bangkitnya madrasah-madrasah swasta yang dipelopori oleh sang imam, rekan ulama dan murid-muridnya. Menjamurnya madrasah swasta tersebut disokong oleh para hartawan yang menanggung biaya operasional dan beasiswa bagi santri lemah ekonomi. Di lain pihak, madrasah negeri meredup kehilangan kepercayaan masyarakat. Madrasah negeri yang hanya memproduksi santri atau mahasantri sebagai pegawai pemerintah ditinggalkan sehingga pemerintah Saljuk tidak memiliki kader digantikan oleh murid-murid Al-Ghazali dan ulama lain dengan kurikulum bermanhaj ishlah dan tajdid.
Jumat 5 Rajab 1444
Tulisan ini adalah bagian dari Resensi Kitab Hakaza Dhahara Jailu Shalahiddin wa Hakazha Adat Al-Quds karya DR. Majid ‘Arsan Al-Kailani. Diterbitkan oleh Darul Qalam, Cet ketiga 1423 H (2002)