Kitab Ihya Ulumudin sebagai kurikulum pokok manhaj pergerakan dakwah Imam Al-Ghazali rahimahullah mendiskusikan berbagai persoalan yang besar maupun kecil, yang ringan maupun kritis. Namun di dalamnya tidak ada bab berjudul jihad fisabillah padahal waktu itu Palestina jatuh di tangan bangsa kufar yang kemudian membuka jalur-jalur logistik serta melakukan patroli dan gangguan masuk kedalam wilayah Syam.
DR. Majid Arsan Kailani melakukan penelitian mendalam dalam Kitab Al-Ihya dan menemukan ternyata Al-Ghazali sangat perhatian urusan jihad dhafush shail (operasi pertahanan). Namun tidak ditulis dalam bab khusus dengan memasukkan di bawah bab Amar Maruf Nahi Munkar.
Al-Ghazali memiliki sebuah manhaj pergerakan jihad daf’i (pertahanan) bahwa jihad merebut kembali Palestina dan juga merebut kembali Mesir tidak akan berhasil tanpa persatuan umat. Jihad daf’i tak akan berhasil jika hanya dilaksanakan sendirian atau kelompok (ishobah), walau Al-Ghazali tidak menafikan urgensi bentuk jihad ini dan tidak pula melarangnya dengan fatwa beliau:
“Kami membolehkan setiap orang berperang membentuk kelompok jihad dan menyerang musuh memecah kekuatan kufar dan memukul ahlul kufri. Melakukan serbuan pada bangsa perusak diperbolehkan karena orang kafir boleh dibunuh. Sedang muslim jika terbunuh oleh kufar dia syahid.”
Beliau juga mensahkan pelaku maksiat seperti peminum khamr melakukan jihad sendirian. Mensahkan jihad di bawah pemimpin yang shalih atau fajir.
Mereka yang beribath di perbatasan Palestina adalah penduduk perbatasan, sebagian pengungsi Palestina atau warga wilayah lain yang memiliki kesadaran dan pengorbanan untuk berjihad. Al-Ghazali melihat, persoalan Palestina adalah persoalan kompleks yang membutuhkan kesadaran seluruh umat yang sedang terpuruk dalam berbagai krisis.
Manhaj jihad Al-Ghazali adalah operasi strategis jangka panjang dengan mobilisasi umum pemerintah dipimpin oleh Sultan dan direstui oleh Khalifah. Sebab saat itu Khalifah dan struktur pemerintahan Islam telah tegak sebagai modal utama operasi pertahanan.
Sehingga yang diusahakan Al-Ghazali adalah memperbaiki aqidah dan akhlak pemimpin, aparatur pemerintah, militer serta rakyat dengan manhaj Ishlah dan Tajdidnya. Untuk memperbaiki pemimpin atau sultan selaku pelaksana khalifah, Al-Ghazali memiliki dua opsi yaitu:
- Merestorasi pemimpin dari internal Bani Saljuk itu sendiri yaitu mencari pemimpin dari keturunan Sultan Tugril Bek.
- Reformasi pemerintahan total dengan mengangkat sultan dari kabilah lain yang disepakati umat dan diakui Khalifah Abbasiyah.
Al-Ghazali sangat memahami, betapa kuatnya rakyat tanpa pemimpin yang kuat tidak akan mampu menata potensi kekuatan umat untuk membebaskan Palestina. Rakyat yang kuat tanpa pemimpin yang kuat perlahan akan melemah dan hancur, tentu saja jerih payah perbaikan akan sia-sia. Pembangunan kekuatan berakhir tidak bisa digunakan.
Mencari dan membina pemimpin kaum muslimin adalah bagian dari amar maruf nahi mungkar puncaknya pada munculnya seorang pemimpin umat yang bisa memobilisasi militer. Al-Ghazali berkata: “Bukankah harus memperhatikan konsistensi pada amar maruf sampai puncak tujuannya yaitu tajnid militer (pelatihan, strukturisasi dan operasi militer) mencari ridha Allah dan menjauhi maksiat pada Allah.”
Tajnid militer mencari ridha Allah merupakan buah dari proses panjang amar maruf nahi mungkar dalam seluruh elemen masyarakat. DR. Majid menarik kesimpulan dari perkataan ini:
Pertama:
Jihad yang dikampanyekan Al-Ghazali semata jihad mencari ridha Allah. bukan jihad atas dasar nasionalisme, membela fanatisme tanah air, atau kepemilikan pribadi dan kelompok. Tetapi jihad mengusung risalah amar maruf nahi mungkar dengan tujuan ikhlas karena Allah.
DR. Majid menyebutkan pembagian ulama oleh Al-Ghazali pada saat itu menjadi dua; ulama akhirat dan ulama dunia. Pada saat itu, perlombaan dunia menjadi salah satu penyakit kronis yang menimpa umat. Artinya menurut kami, walau istilah ini tidak disebutkan oleh DR. Majid, terdapat dermawan akhirat dan dermawan dunia juga mujahid akhirat dan mujahid dunia.
Menata niat mujahid ketika sebagian besar masyarakat tidak berjihad tentu saja sangat sulit. Maka dibutuhkan tarbiyah hati pada umat agar jihadnya diterima Allah. Inilah yang dikatakan Al-Ghazali: “Sesungguhnya seruan jihad militer tidak akan ada manfaatnya jika tidak didahului jihad jiwa agar jihad bukan untuk membela nasionalisme. Dengan di awali jihad jiwa, masyarakat bisa merasakan makna pengorbanan jiwa dan harta di jalan Allah.”
Kedua:
Al-Ghazali sangat sadar pada pemahaman jihad umah yang menunggal melalui tahapan-tahapan yang sesuai. Al-Ghazali menetapkan tiga proses tahapan jihad:
- Jihad tarbawi; yaitu pendidikan masyarakat untuk siap berjihad mengorbankan harta dan nyawa dengan niat karena Allah dilandasi aqidah shahihah. Seruan jihad tanpa melalui tarbiyah di tengah masyarakat yang jatuh dalam berbagai krisis hanya membuahkan rasa putus asa. Jihad tarbawi ini mengusahakan lahirnya “hukama as-siyasiyah wal askariyah” (alim ulama dan pemimpin yang menggerakkan idad untuk jihad).
- Jihad tanzhimi; yaitu jihad yang tersusun dengan shaf yang teratur, terorganisasi, terpimpin dan disiplin melalui diklat berjenjang. Sehingga jihad bukan proyek pribadi-pribadi tetapi proyek umat.
- Jihad askary; yaitu penggunaan kekuatan yang terpimpin dan terukur di bawah sultan muslim.
Al-Ghazali rahimahullah mendudukkan jihad sesuai tempatnya sebagai bagian dari syariat amar maruf nahi munkar. Mengusung jihad umah bertujuan menggapai ridha Allah berdasar aqidah shahihah sesuai dengan tahapannya pada saat itu.
Sampai sang Imam rahimahullah wafat, dakwah amar maruf nahi mungkar Al-Ghazali baru berhasil atas izin Allah mempertahankan struktur pasukan reguler dan meningkatkannya menjadi lebih solid. Terbukti dengan dikirimnya detasemen tempur oleh Khalifah ke Halb (Aleppo) ketika Bizantium merangsak maju dari Palestina.
Pengiriman bantuan tempur reguler oleh Khalifah merupakan prestasi luar biasa yang menunjukkan umat telah bangkit menggeliat dan mulai mendukung operasi jihad dengan segala pengorbanannya. Terbukti, Bizantium segera withdrawal (menarik pasukan) kembali ke benteng. Artinya proses tahapan jihad sampai akhir hayat Imam Al-Ghazali sudah sampai masuk pada tahap pembinaan peningkatan kekuatan jihad tanzimi dan penggunaan kekuataan terbatas jihad askary.
Rabu 10 Rajab 1444
Tulisan ini adalah bagian dari Resensi Kitab Hakaza Dhahara Jailu Shalahiddin wa Hakazha Adat Al-Quds karya DR. Majid ‘Arsan Al-Kailani. Diterbitkan oleh Darul Qalam, Cet ketiga 1423 H (2002)